Oleh : Dr. Tgk. Saiful Bahri Ishak, MA (Dosen Matakuliah Pendidikan Anti Korupsi UNISAI Samalanga)
Dalam konteks Pemilu, masalah menerima pemberian dari kandidat politik adalah isu yang sering kali menjadi pertanyaan di kalangan masyarakat. Bagaimana hukum fiqh dalam menyikapi hal ini, terutama dalam Fiqh Syafi’iyyah, pendapat ulama kontemporer dan MUI? Dalam fiqh Syafi’iyyah, suap (risywah) dianggap sebagai dosa besar, dan Islam sangat menekankan pentingnya integritas dan keadilan dalam segala bentuk transaksi, termasuk dalam pemilihan umum.
Dalam Fiqh Syafi’iyyah, prinsip dasar yang berkaitan dengan menerima uang atau pemberian dari calon legislatif (caleg), calon gubernur (cagub), calon bupati (cabup), atau calon wali kota dan wakil-wakil mereka tetap berakar pada larangan terhadap risywah (suap) atau bentuk pemberian yang dimaksudkan untuk mempengaruhi keputusan atau pilihan orang lain.
- Hukum Risywah dalam Fiqh Syafi’iyyah
Dalam madzhab Syafi’i, risywah (suap) didefinisikan sebagai pemberian sesuatu kepada orang lain dengan tujuan mempengaruhi keputusan, atau mendapatkan keuntungan yang tidak sah. Risywah sangat dilarang karena merusak tatanan masyarakat, melanggar keadilan, dan merendahkan nilai moral. Suap tidak hanya berlaku dalam konteks pengadilan atau pemerintahan, tetapi juga dalam pemilihan umum.
Hadis Nabi SAW yang berbunyi :
لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
“Allah melaknat orang yang memberi dan yang menerima suap.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Hadis ini menjadi landasan utama yang dipakai oleh para ulama dalam mengharamkan risywah.
Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ (Jilid 9, Halaman 318), segala bentuk suap yang diberikan untuk mempengaruhi suatu keputusan atau mendukung seseorang secara tidak adil adalah haram. Ini termasuk bentuk pemberian dari kandidat politik yang dimaksudkan untuk mempengaruhi suara pemilih. Imam Nawawi secara eksplisit menjelaskan, bahwa suap merusak keadilan, dan pemberian yang ditujukan untuk mengubah pilihan seseorang dalam Pemilu jelas merupakan bagian dari suap yang haram.
Imam Ramli dalam Nihayah al-Muhtaj (Jilid 8, Halaman 283) juga menguatkan hal ini dengan menyatakan, bahwa segala pemberian yang dimaksudkan untuk mempengaruhi keputusan dalam Pemilu adalah dilarang. Menurut beliau, pemberian dari kandidat politik yang bertujuan untuk memenangkan Pemilu termasuk dalam kategori risywah yang diharamkan, karena tujuan dari pemberian tersebut bukan untuk membantu, melainkan untuk mengambil keuntungan yang tidak sah.
- Pendapat Ulama Kontemporer
Ulama kontemporer juga sejalan dengan pandangan ulama klasik dalam mengharamkan segala bentuk pemberian yang terkait dengan upaya mempengaruhi hasil pemilu. Beberapa di antaranya adalah:
Sheikh Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh al-Zakah menjelaskan, bahwa suap bukan hanya merugikan secara individual, tetapi juga secara sosial. Penerimaan suap dalam bentuk apapun, termasuk dalam konteks pemilihan umum, mengakibatkan ketidakadilan dalam proses pemilu dan merusak tatanan masyarakat yang demokratis.
Syeikh Wahbah Zuhayli dalam Fiqh Islami wa Adillatuhu menegaskan, bahwa segala bentuk pemberian yang bertujuan untuk mempengaruhi hak suara dalam pemilu adalah haram. Beliau menyatakan bahwa seorang muslim harus menjaga integritas dan kejujuran dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam proses pemilu. Umat Islam dilarang keras untuk menerima pemberian dengan maksud mengubah pilihannya, karena itu termasuk perbuatan yang dikecam dalam syariat Islam.
- Fatwa MUI tentang Suap dalam Pemilu
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah memberikan fatwa terkait praktik suap dalam pemilu. Dalam fatwa MUI No. 2 Tahun 2009 tentang Hukum Suap dalam Pemilu, disebutkan bahwa suap dalam pemilu adalah haram. Dalam fatwa tersebut dinyatakan bahwa :
a.Suap dalam pemilu termasuk dalam kategori risywah yang dilarang oleh syariat.
b. Penerima suap dalam pemilu dianggap sebagai pelaku dosa besar karena suap merusak asas keadilan dan transparansi dalam demokrasi.
c. Memberikan atau menerima uang, hadiah, atau apapun yang bertujuan mempengaruhi pilihan dalam pemilu merupakan tindakan yang haram dan bertentangan dengan prinsip demokrasi yang bersih dan adil.
Fatwa ini memperkuat bahwa praktik menerima pemberian dari kandidat politik dengan maksud mempengaruhi pilihan pemilih adalah haram.
- Kesimpulan
Menurut pandangan fiqh Syafi’iyyah, pendapat ulama kontemporer, dan fatwa MUI, menerima pemberian dari kandidat politik dengan maksud mempengaruhi pilihan pemilih adalah haram. Pemberian tersebut termasuk dalam kategori suap (risywah), yang dilaknat oleh Allah SWT. Larangan ini didasarkan pada keadilan, integritas, dan kemurnian dalam proses pemilu. Meskipun demikian, jika pemberian tersebut berupa bantuan sosial atau sedekah tanpa ada maksud tersembunyi untuk mempengaruhi pilihan, maka pemberian itu boleh diterima, tetapi penerima harus memastikan bahwa tidak ada niat politik yang tersembunyi di balik pemberian tersebut.
By : Dr. Tgk. Saiful Bahri Ishak, MA / Dosen Matakuliah Pendidikan Anti Korupsi UNISAI Samalanga.