
Sigli,haba RAKYAT I Dua mahasiswa Universitas Jabal Ghafur (Unigha), Muhammad Pria Al Ghadzi (Tuma) selaku koordinator lapangan aksi, dan Mirzatul Akmal sebagai peserta aksi, dilaporkan ke pihak kepolisian usai menggelar unjuk rasa terkait dugaan korupsi dana Kartu Indonesia Pintar (KIP) Mahasiswa angkatan 2024, serta permasalahan infrastruktur kampus yang memprihatinkan.
Aksi tersebut bertujuan untuk mendesak pihak rektorat agar memberikan klarifikasi dan transparansi atas dugaan penyelewengan dana bantuan pendidikan, serta memperbaiki kondisi sarana dan prasarana kampus yang dinilai sangat jauh dari standar kelayakan.
Namun, bukannya mendapatkan tanggapan konstruktif, dua mahasiswa justru dipidanakan. Aib besar bagi sebuah institusi pendidikan yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan kebebasan akademik.
Tindakan pelaporan ini dinilai sebagai bentuk represif yang kasar dan tidak beradab, yang hanya menunjukkan ketakutan pihak kampus terhadap kritik dan keterbukaan. Ini adalah bentuk nyata pembungkaman terhadap gerakan mahasiswa dan pengkhianatan terhadap semangat intelektualisme.
Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kabupaten Pidie, Fajri Edo, yang juga merupakan alumni Fakultas Ekonomi Universitas Jabal Ghafur, menyampaikan kecaman keras terhadap pelaporan tersebut.
Ia menilai langkah itu sebagai tindakan otoriter yang membungkam suara kebenaran dan mencoreng wajah institusi pendidikan dengan noda ketakutan terhadap transparansi.
“Kami mengutuk keras tindakan biadab ini. Bukan sekadar pelaporan, ini adalah serangan frontal terhadap nalar kritis dan martabat mahasiswa. Mereka tidak melakukan tindak kriminal; mereka hanya menuntut kejujuran dan perbaikan. Tindakan ini mencerminkan kepanikan dan mentalitas feodal yang tidak pantas ada di dunia akademik,” tegas Fajri Edo dalam keterangannya kepada sejumlah media, Senin (21/07/2025).
Ia menegaskan, bahwa Universitas Jabal Ghafur telah gagal menunjukkan kebesaran jiwa dalam menyikapi kritik. Alih-alih menjadi ruang tumbuhnya intelektualisme, kampus justru menunjukkan wajah represif yang memalukan.
Fajri menuntut agar pihak rektorat segera menarik laporan tersebut dan membuka ruang dialog yang jujur, terbuka, serta beradab.
“Jika kampus terus memelihara budaya intimidasi terhadap suara mahasiswa, maka itu sama saja dengan menjadikan institusi pendidikan sebagai kuburan massal bagi akal sehat dan kemerdekaan berpikir. Ini bukan hanya berbahaya, tapi juga memalukan dan menjijikkan. Masa depan pendidikan tidak boleh dibiarkan hancur oleh kepengecutan birokrasi,” pungkasnya.(AA/hR)