
Oleh: Hetti Zuliani, Ph.D.
Fenomena bullying atau perundungan di kalangan remaja Aceh semakin memprihatinkan. Tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah, tetapi juga merambah ke media sosial dan lingkungan masyarakat. Mirisnya, perilaku ini sering kali dianggap biasa oleh sebagian masyarakat, padahal dampaknya sangat serius bagi perkembangan mental dan emosional korban.
Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah kasus bullying di sekolah menengah pertama dan atas di berbagai kabupaten di Aceh dilaporkan ke pihak berwenang. Bentuknya beragam, mulai dari ejekan, pengucilan, hingga kekerasan fisik dan cyberbullying. Ironisnya, banyak korban yang memilih diam karena takut akan balasan atau karena merasa tidak ada yang bisa menolong.
Menurut Psikolog Klinis Dr. Nur Aisyah, bullying bukan hanya tentang tindakan fisik atau verbal yang menyakitkan, tapi juga tentang ketidakseimbangan kekuasaan. “Anak yang menjadi korban bullying sering merasa tidak berdaya, tidak aman, dan tidak dihargai. Ini bisa menimbulkan trauma psikologis jangka panjang, seperti kecemasan, depresi, bahkan keinginan untuk menyakiti diri sendiri,” ujarnya.
Dalam pandangan psikologi perkembangan, masa remaja merupakan fase pencarian identitas. Ketika remaja mengalami bullying, proses pembentukan identitasnya terganggu. Mereka menjadi pribadi yang tidak percaya diri, mudah merasa cemas, dan sulit menjalin hubungan sosial yang sehat.
Bullying tidak lahir begitu saja. Banyak faktor yang berkontribusi dalam pembentukan perilaku ini, termasuk dinamika sosial dalam keluarga. Terdapat fakta yang sering kita temui pada pelaku bullying memiliki latar belakang keluarga yang bermasalah seperti pola pengasuhan yang tidak sehat, kurangnya stimulasi emosional dari orang tua dan bahkan tidak jarang menjadi korban kekerasan fisik dan verbal juga dalam keluarga.
Sebagian besar keluarga di Aceh masih memegang budaya patriarki yang kuat, di mana ekspresi emosi terutama oleh anak laki-laki seringkali ditekan. Anak diajarkan untuk “kuat”, tidak cengeng, dan menunjukkan dominasi. Ini bisa berujung pada perilaku agresif sebagai bentuk pelampiasan ketidakmampuan mengekspresikan emosi secara sehat.
Selain itu, kondisi ekonomi yang sulit juga mendorong banyak orang tua lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan finansial, sehingga kurang hadir secara emosional untuk anak-anak mereka. Hal ini membuat anak mencari perhatian dan validasi di luar rumah, termasuk melalui dominasi terhadap teman-temannya.
Di lingkungan sekolah, bullying sering kali tidak terdeteksi karena dilakukan secara terselubung. Guru dan tenaga kependidikan sering kekurangan pelatihan untuk mengenali tanda-tanda anak yang menjadi korban atau pelaku bullying. Beberapa sekolah bahkan masih menganggap kasus bullying sebagai “masalah kecil yang bisa selesai sendiri”.
Namun, data menunjukkan sebaliknya. Menurut laporan dari Dinas Pendidikan Aceh tahun 2024, 1 dari 5 siswa mengaku pernah mengalami tindakan perundungan di sekolah. Mayoritas tidak melaporkan kejadian tersebut kepada guru ataupun orang tua.
Mengatasi bullying tidak cukup hanya dengan memberi hukuman kepada pelaku. Diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai pihak: keluarga, sekolah, masyarakat, dan lembaga pemerintah. Terdapat beberapa tindakan yang dapat kita lakukan bersama untuk mencegah dan mengatasi bullying ini.
Pendidikan Emosional Sejak Dini
Anak perlu diajarkan keterampilan mengelola emosi sejak kecil. Pendidikan karakter di sekolah harus mencakup pelatihan empati, komunikasi asertif, dan resolusi konflik. Sekolah bisa mengintegrasikan pelajaran “Kecerdasan Emosi” ke dalam kurikulum.
Pelibatan Orang Tua dalam Pendidikan
Sekolah perlu aktif melibatkan orang tua dalam kegiatan parenting. Agar orang tua memiliki keterampilan pengasuhan sehingga anak tidak hanya tercukupi secara materi namun memiliki perkembangan pribadi yang sehat.
Layanan Konseling di Sekolah
Setiap sekolah idealnya memiliki layanan konseling yang aktif dan dipercaya siswa. Konselor tidak hanya berperan saat ada masalah, tetapi juga melakukan pencegahan dengan mengenali dinamika sosial siswa secara berkala.
Pengawasan dan Regulasi Media Sosial
Orang tua dan guru perlu memahami dinamika dunia digital yang digunakan remaja. Edukasi tentang etika digital, penggunaan media sosial yang sehat, serta dampak dari cyberbullying sangat penting untuk diberikan secara terstruktur sehingga mereka tidak terpengaruh kedalam perubahan perilaku buta.
Forum Remaja Positif
Pemerintah daerah dan organisasi masyarakat dapat membentuk wadah kreatif bagi remaja seperti komunitas seni, literasi, atau olahraga yang mendorong kerjasama, bukan persaingan tidak sehat dengan pendampingan dari para tokoh masyarakat bahkan pemerintah. Ini bisa menjadi ruang sehat untuk menyalurkan energi remaja secara konstruktif.
Penegakan Aturan dengan Pendekatan Restoratif
Alih-alih hanya menghukum pelaku bullying, pendekatan restoratif mendorong pelaku untuk memahami dampak perbuatannya, meminta maaf secara tulus, dan memperbaiki hubungan dengan korban. Ini efektif untuk mengubah perilaku dalam jangka panjang.
Nilai-Nilai Islam dalam Mencegah Bullying
Aceh memiliki warisan budaya dan nilai-nilai Islam yang kuat, yang seharusnya bisa menjadi fondasi dalam membangun perilaku sosial yang sehat. Prinsip seperti saling menghormati, tolong-menolong, dan menjaga kehormatan sesama seharusnya diajarkan tidak hanya di rumah dan sekolah, tapi juga di ruang publik. Dalam Islam, menyakiti orang lain baik secara fisik maupun hati adalah dosa besar. Sabda Rasulullah SAW: “Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya disakiti.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Mari Bangun Aceh yang Ramah bagi Remaja
Bullying bukan hanya masalah anak-anak. Ia adalah cerminan dari kondisi sosial yang lebih luas mulai dari keluarga yang abai, sekolah yang kurang responsif, hingga masyarakat yang permisif. Jika tidak ditangani dengan serius, kita akan menuai generasi yang tumbuh dengan luka batin, rendah empati, dan rapuh dalam menjalin hubungan. Kini saatnya semua pihak bersatu. Mari bangun Aceh yang ramah bagi remaja tempat di mana setiap anak merasa aman, diterima, dan dihargai sebagaimana adanya. Wallahu’alam.
- Penulis adalah Dosen di Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, dan Founder Yayasan Permata Aceh Mulia (YPAM) Sigli