DAERAH  

PHK Massal PT SAE, “Upaya Penghancuran Masa Depan Buruh Gaya Baru”

Pengurus Dewan Pimpinan Cabang Forum Membangun Desa (DPC FORMADES TAPSEL), Rahman Sakamoto, S.Pd. Foto : Rahmat Nduru/haba RAKYAT.

SIPIROK, TAPANULI SELATAN – haba RAKYAT l Pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 72 buruh PT Sae menuai kecaman dari berbagai kalangan.

Salah satu suara kritis datang dari, warga Sipirok dan Tapsel Pengurus Dewan Pimpinan cabang Forum Membangun Desa (DPC FORMADES TAPSEL). Rahman Sakamoto, S.Pd, menyebutkan tindakan perusahaan sebagai bentuk perusakan demokrasi di dunia kerja.

mengindikasikan adanya represifitas terhadap hak-hak buruh, meski manajemen perusahaan membantah bahwa PHK (Pemutusan hubungan Kerja)

“Sulit untuk tidak melihat adanya korelasi langsung antara buruh dan keluarnya puluhan surat PHK. Apalagi sebagian besar yang dikenai sanksi adalah Karyawan PT SAE tapsel.

Menurutnya, meski perusahaan berdalih telah mengikuti prosedur peringatan bertingkat (Surat Peringatan/SP1–SP3), hal tersebut tidak serta merta membenarkan tindakan pemecatan.

Terlebih jika tindakan dilakukan sesuai dengan koridor hukum ketenagakerjaan.

“Pekerja itu hak yang dijamin oleh konstitusi dan UU Ketenagakerjaan. Jika dibalas dengan surat peringatan dan PHK, ini bukan penegakan disiplin – tapi mungkin praktik union busting gaya baru,” katanya

Atas kejadian ini, formades Tapsel mendesak Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Tapsel dan Provinsi Sumut untuk segera melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran hukum ketenagakerjaan yang dilakukan PT. Sinar Avonaska Emas (PT. SAE ).

Ia juga meminta DPRD Tapsel menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) ke Komisi C terbuka untuk menyerap langsung aspirasi buruh.

dibangun oleh kerja kolektif rakyatnya. Jika buruh dibungkam lewat sanksi dan intimidasi, maka demokrasi kerja sedang dirusak secara sistemik,” tegasnya.

juga mendorong dibentuknya Tim Independen Pengawas Hubungan Industrial di Kawasan sebagai upaya pencegahan terhadap praktik pelanggaran hak-hak buruh di masa mendatang.

“Kita tidak bisa menyerahkan sepenuhnya pengawasan relasi kerja kepada perusahaan. Harus ada mekanisme kontrol dari masyarakat sipil, akademisi, serikat buruh, dan pemerintah secara kolektif,” katanya.

Sebagai penutup, Rahman menegaskan bahwa demokrasi , tapi juga menyangkut hak buruh untuk menyuarakan aspirasi tanpa takut kehilangan pekerjaan.

“Buruh bukan komponen produksi yang bisa diganti seenaknya. Mereka punya suara, hak, dan martabat. Demokrasi kerja yang sehat adalah prasyarat industri yang berkelanjutan,” pungkasnya.

Rahmat Nduru/hR